Selasa, 20 Oktober 2015

Cerpen : Kasih Ibu Sepanjang Jalan

Sinar matanya sayu hampir tak bercahaya. Riak kerasnya hidup tergambar jelas dalam kerutan di dahinya. Wajahnya datar, jarang terlihat bahagia. Ratmi,wanita paruh baya itu terlihat lebih tua dari usianya.

Seharusnya di usianya saat ini dia mulai bahagia menimang cucu, bercengkerama penuh kehangatan, lebih banyak tersenyum. Mungkin sudah guratan garis hidupnya bahwa dia tak pernah menikmati itu.
Dari 5 orang anaknya hanya si bungsu yang selalu berada di sisinya.

Anak tertua dan istrinya datang menjenguknya hanya ketika mereka kesulitan uang, atau kehabisan susu buat anak mereka. Sementara Ratmi tak pernah mengusik mereka, dan menjalani hidupnya dengan ikhlas kala harus menggelar dagangan boneka di pasar malam. Beberapa ratus ribu rupiah hasil menjual boneka akan dia selipkan di saku anak tertuanya ketika anak laki-lakinya menjenguknya.  Walaupun demikian Ratmi tak akan pernah lupa ketika Ratmi menyambangi anak tertuanya, tak jua anaknya memakai motor miliknya untuk mengantar ibunya pulang. Dia membiarkan ibunya berjalan sejauh 4 km kembali ke rumahnya.

Anak keduanya, dibui karena salah pergaulan. Bekerja serabutan di pasar membuatnya terikat dengan preman pasar  dan menjadi tukang palak. Ratmi terpaksa menjadi saksi di pengadilan atas kekerasan yang dilakukan anaknya terhadap nenek tua penjual buah.

Anak ketiganya, gadis, menjadi TKW di negeri arab dan tak pernah kembali sejak 5 tahun lalu. Suatu hari dia mendengar dari tetangga ada TKW yang dipancung karena dituduh mencuri emas sang majikan dan melarikan diri. Ditemukan banyak luka memar ditubuhnya sebelum dipancung. Nama TKW itu mirip nama anaknya. Ratmi hanya beristighfar ketika mendengar kabar itu, dan memohon ampunan Tuhan untuknya. Dia ingin melupakan kepergian anaknya yang menggunakan uang hasil menjual tanah warisan suaminya tanpa restunya.

Anak keempatnya, sekalipun tak pernah menjenguknya. Ratmi tak membencinya. Setiap malam doa-doa selalu terlantun dari bibirnya yang berkerut, supaya anak semata wayangnya yang menjadi camat, keluar dari penjara karena kasus suap Pilkada. Sesekali Ratmi yang menjenguknya di penjara.

Anak ke limanya gadis cantik, dengan mata hitam besar. Tubuhnya yang ramping sempurna dan rambut hitam lebat selalu terlihat indah di mata Ratmi. Dia bahagia memilikinya.

"Anakku..." ucapnya lirih. "Kamu tak pernah merepotkan Emak. Selalu ada di samping Emak. Makasih ya nak."

"Kamu jangan pernah seperti kakak-kakakmu. Yang tak pernah memperlakukan ibu dengan baik. Bagaimanapun juga Ibu melahirkan dan membesarkan mereka dengan perjuangan. Apalagi ketika ditinggal suami yang tidak bertanggungjawab. Ibu memang tak punya apa-apa untuk mereka. Tapi ibu yakin Allah selalu punya cara sendiri untuk melindungi mereka karena Ibu tak bisa melakukannya. Itu sebabnya ibu selalu berdoa dan bersyukur. Alhamdulillah gubuk pemberian Pak lurah ini masih bisa Ibu tinggali." Gumam Ratmi.

"Ibu kerja dulu ya nak. Jaga rumah ya. Jangan tinggalkan ibu ya." Diciumnya kening gadis itu. Ratmi kemudian menutup lemari tuanya dengan susah payah.

Langit senja menjelang gelap.Digendongnya dagangan boneka menuju pasar malam.

Anak kelima yang dia sayangi itu hanya diam. Dia berdiri kaku di dalam lemari tua. Sejak 15 tahun lalu dia menemani hari-hari Ratmi. Mata besar dan senyumnyalah yang selalu membuat Ratmi bahagia sekalipun boneka cantik itu tak dapat mengeluarkan kata-kata.


Tidak ada komentar: