Senin, 19 Oktober 2015

Gojek oh gojek

Saya termasuk yang bersorak gembira ketika fenomena gojek hadir. Bagaikan angin segar ditengah badai usaha. Saya sebut badai lantaran pemberitaan tentang phk di dunia usaha mulai muncul. Namun bisnis ojek online ini malah tumbuh subur, membawa harapan akan peningkatan kesejahteraan bagi sejumlah orang.

Melihat  kondisi ini, "kepo" saya pun kumat. Maklum, sisa-sisa jiwa jurnalismenya masih mengendap. Saya manfaatkan promo Rp.10,000 untuk menggunakan transportasi alternatif ini sambil mengorek lebih dalam kehidupan di dunia pergojekan. 

Beberapa bulan lalu saya banyak berdialog dengan para gojek driver ini. Latar belakang mereka sangat bervariasi, ada ibu-ibu rumah tangga, mahasiswa, mantan karyawan, banyak juga yang berasal dari ojek pangkalan yang beralih ke gojek demi peningkatan pendapatan. Dalam hati saya sangat mengapresiasi kegigihan para gojek driver ini yang harus kucing-kucingan dengan ojek pangkalan. Tak jarang yang bercerita teman mereka mendapat bogem mentah karena dianggap menyaingi ojek pangkalan.

Sewaktu perekrutan Gojek driver belum dilakukan secara masal, mereka dengan mudahnya mereka mendapatkan minimal 10 penumpang sehari atau mendapatkan sekitar Rp. 7 juta. Jumlah yang mungkin lebih besar dari umumnya pekerja kantoran biasa. Saya acungkan jempol untuk CEO Gojek yang melakukan terobosan transportasi ini dan menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk kehidupan yang lebih baik.
Gojek juga terus memberikan layanan inovatif bagi target pelanggannya.

Namun beberapa minggu belakangan, rasanya mulai miris mendengar "curhatan" para gojek driver ini.

Dari hasil kepo dengan beberapa gojek driver, saya baru tahu kalau kini, kenyataan tidak seindah harapan mereka waktu awal masuk gojek. Beberapa orang bercerita bahwa susah sekali mendapatkan 3 penumpang. 5 penumpang bisa dibilang hasil terbaik mereka. Menurut mereka, berkurangnya jumlah penumpang ini karena armada gojek mulai membludak setelah perekrutan massal. Mungkin perekrutan masal ini untuk mengimbangi inovasi-inovasi dalam hal layanan selain mengantar penumpang ke lokasi tujuan.

Salah satu pengemudi bilang saat ini jumlah pengemudinya telah mencapai 70.000 orang, saya tidak tahu berapa persisnya jumlah armada gojek saat ini. Namun dengan terus bertambahnya jumlah armada, kue yang mereka perebutkan semakin kecil, mereka harus bersaing dengan sesama pengemudi untuk mempertahankan target pendapatan. Tombol menerima order harus dipencetnya secepat kilat agar tidak direbut rekan pengemudi yang lain. Terkadang mereka baru sadar ternyata lokasi penjemputan cukup jauh letaknya.

Bagi penumpang seperti saya, sebuah kenyamanan dan kemudahan memang mulai saya rasakan ketika order melalui aplikasi dengan cepat mendapat driver. Seringkali dalam hitungan detik sudah mendapat driver.Tapi bagi para pengemudi, sekarang semakin sulit untuk mendapatkan jumlah penumpang yang seperti beberapa bulan yang lalu.Bahkan untuk mendapatkan penghasilan Rp. 4 juta sebulan pun terseok-seok, beredar dari pagi, dilanjutkan siang hingga malam. Kenyataan ini tentu saja tidak membuat saya bersorak. Malah justru miris. Semoga Manajemen Gojek menyadari hal ini. Bahwa layanan mereka belum terserap dengan baik di masyarakat yang menyebabkan para pengemudi ini idle alias menganggur. Mereka lebih banyak menunggu daripada mendapatkan penumpang. Kekhawatiran saya ini akan membuat etos kerja akan menurun. Contohnya waktu sepulang kerja, dari Menara Karya seperti biasa saya ke kantor suami di DPR, Senayan. Namun ketika saya minta masuk ke dalam gedung, pengemudi ini seperti enggan, walaupun dia antar juga ke dalam. Setelah saya bayar waktu itu sesuai jarak, sebesar Rp. 20.000 dia komplain.

"Mbak seharusnya mbak tulis di tujuannya di palmerah, jadi drivernya nggak rugi. kalau ini kan tertulis ke gedung DPR, tapi saya harus muter lewat pintu dekat stasiun palmerah, kan jauh. Jadi rugi, saya."

"O.. kalau gitu ini saya tambahin," dengan muka masam saya berikan tambahan 10ribu dan bergegas pergi. Bukannya tidak pernah memberi tips untuk gojek, hanya saja, selama ini tidak pernah ada gojek yang komplen mengantar saya masuk ke Gedung DPR kecuali dia. Setelah saya kait-kaitkan, saya ingat waktu dalam perjalanan menuju DPR, tidak menceritakan bahwa penumpangnya kini menurun drastis. kalau dulu bisa 10 orang, sekarang jauh dibawah itu. Inilah yang saya khawatirkan.

Membuat sebuah jenis jasa layanan mungkin  lebih mudah dibandingkan memasarkannya. Manajemen harus memikirkan, bagaimana layanan gojek banyak dimanfaatkan pelanggan. Apakah bekerja sama dengan korporasi untuk memaksimalkan layanan antar dokumen. Atau kerjasama dengan online shop yang sedang marak. Misalnya Gojek dapat memberikan program khusus bagi online shop yang menggunakan jasa mereka atau memberikan diskon bagi yang berlangganan selama 3 bulan misalnya. Saya tidak tahu apakah hal ini sudah dilakukan atau tidak. Kerjasama dengan online shop besar atau kecil sama saja, mereka toh selalu mengirim barang setiap hari ke banyak tempat.

Online shop saat ini lebih banyak menggunakan JNE atau TIKI. Sampai-sampai penyedia layanan pengiriman barang JNE Logistics menargetkan pendapatan Rp 3,9 triliun pada tahun depan atau tumbuh 56 persen dibandingkan target 2014 sebesar Rp 2,5 triliun-Rp 2,7 triliun.  Bayangkan potensi layanan antar barang dari online shop. Ini adalah win-win solution bagi Gojek maupun online shop. Misalnya, 5 kilo barang jika diantar gojek dengan tarif antar dokumen tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan 5 kilogram menggunakan jasa kirim ekspedisi.

Semua Layanan perlu disosialisasikan dengan lebih baik lagi beserta promo-promo yang menarik supaya target customer paling tidak ingin "mencoba" layanan tersebut. Sehingga puluhan ribu tenaga kerja Gojek dapat lebih produktif.

Gojek oh Gojek, semoga semakin berkibar agar kondisi kesejahteraan para pengemudi yang bergantung pada jasa angkut berbasis digital ini menjadi lebih baik.






Tidak ada komentar: